Ahmad bin Harb mengungkapkan: “Ada di antara kita yang memilih
tempat berteduh dari sinar matahari, tetapi tidak memilih Surga (sebagai
tempat berteduh) dari Neraka..”
Kamar itu penuh dengan kaum wanita yang memberi selamat… Lihat
teman-teman dan karib kerabatku. Semuanya memberi selamat dan mendoakan
keberkahan.
“Semoga Allah memberikan berkah kepada kalian berdua, dan memberkahi
atas kalian berdua serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan..”
Masing-masing mendoakan agar kami akur dan memiliki keturunan yang shalih…
Beberapa menit kemudian…
Aku duduk seorang diri, menunggu siapa lagi yang akan datang. Air
mata mengalir dari kedua mataku. Ketika aku teringat ibuku, kala ia
mendoakan agar aku mendapat suami yang shalih.
Seolah-olah aku berada
dalam mimpi. Bayangan membawa diriku kepada kejadian beberapa tahun yang
lalu..
Pada pagi itu…
“Mana ibuku? Kemana ia pergi?” tanyaku. Suaraku terdengar lebih keras
dari besar tubuhku. Kala itu aku masih berusia lima tahun. Aku kembali
bertanya: “Mana ibuku..?”
Jawabannya adalah linangan air mata. Ada yang menambahkan, dengan
suara yang lemah karena terpotong tangisannya: “Ia sudah pergi menuju
Surga.”
Pada saat itu aku tidak menyadari, siapa yang membuat orang-orang
jadi turut menangis. Aku, atau daraku yang masih berumur tiga tahun.
Atau mungkin tangisan orang-orang di sekitar kami? Aku menuntun adikku
untuk mencari ibu kami..
Kaki kami letih berlari kesana kemari. Naik ke tingkat paling tinggi…
mengetuk semua pintu, juga pergi ke dapur. Meski sudah amat lelah, kami
tidak juga mendapatkannya..
Dari situ, aku pun yakin bahwa ibuku tidak berada di rumah. Aku pun
memeluk adikku sambil menangis. Karena lelahnya, kami pun tertidur..
Setelah satu atau dua jam, aku kembali menuntun adikku untuk kembali
mengulang mencari ibu. Kami tidak mendapatkannya di rumah, meskipun
banyak wanita di situ yang jumlahnya menutupi pandangan dan
pendengaranku.
Tetapi di mana ibu bersembunyi? Setelah lama terdiam dan
bungkam, dengan gembira aku teringat. Ada satu tempat yang belum kami
cari. Iya, di bawah pohon itu.. Ibuku menyukai tempat itu.
Dengan cepat
aku berlari, kami lelah menuruni tangga. Adikku sampai terjatuh karena
aku menariknya terlalu keras. Akan tetapi akhirnya, kami hanya melihat
pohon itu saja.
Kami perhatikan bagian atas pohon, bawahnya. Semua
bagian pohon kutelusuri dengan pandanganku. Yang kulihat cuma pohon
saja, ditambah beberapa tanaman yang disukai oleh ibu.
Tetapi di mana
ibuku?
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk. Aku melihat kaum lelaki saling
memanggil. Memekakkan telingaku dan membuat mataku melotot.
Beberapa saat, terlihat langkah-langkah cepat. Mereka lewat di
hadapan kami dengan menggotong sesuatu.
Ketika adikku bertanya kepadaku,
aku jawab pertanyaannya yang lugu itu: “Mereka membawa barang berat.
Masing-masing ikut serta membawanya.” Aku sendiri tidak menyadari bahwa
yang digotong itu adalah ibuku! Kalau aku tahu, pasti kupegang dan tidak
kubiarkan pergi..
Kaum lelakipun pergi menghilang.
Suasana menjadi hening… Kami duduk
dan bermain-main di atas tanah dengan tenang. Di bawah pohon,
sebagaimana kebiasaan kami bersama ibu. Itulah hari pertama, kami pergi
ke kebun tanpa mengenakan sepatu. Kami haus, tetapi tidak kami dapatkan
air..
Tiba-tiba datanglah salah seorang wanita kerabat kami dan membawa kami masuk bersamanya…
Keesokan paginya, kami mulai membahas masalah itu di setiap tempat.
Aku mengumpulkan kekuatanku dan berkata kepada adikku yang terus
menangis: “Ibu pasti pulang, pasti pulang lagi.”
Nenekku dengan tergopoh-gopoh datang ketika suara tangis kami
mengeras. Ia memeluk kami… Aku masih merasakan air mata ibuku yang
menetes di kepalaku…
Setiap kali kulihat seorang ibu, tercium olehku bau khas ibuku. Aku
teringat, bahwa suatu hari ketika kami membuatnya marah, ia berkata:
“Aku akan pergi dan meninggalkan kalian..”
Aku juga masih ingat ketika kami pergi mengunjunginya di rumah sakit.
Di samping pembaringannya, ayahku membimbingku. Ia berkata kepada ibu:
“Ini dia Arwa.” Ibu memelukku dan menciumku, kemudian memeluk adikku.”
Air matanya bercucuran, sambil menekan tanganku yang kecil dan
menciumnya dengan kuat. Setiap hari, suaranya mengetuk pendengaranku.
Suara terakhir yang kudengar darinya adalah: “Aku titipkan kalian berdua
kepada Allah, yang tidak pernah menyia-nyiakan titipan di sisi-Nya.”
Kemudian ia terisak menangis dan menutup wajahnya…
Mereka mengeluarkan kami dari kamarnya, sementara kami terus
menangis, berlinang air mata… Kami pun mulai berpindah. Pindah dari
rumah yang di dalamnya terdapat ayah, ibu, juga saudara… Kini ia sudah
pergi, maka kami pun pergi…
Lima tahun kemudian…
Aku kembali ke rumah ayahku. Datang dari rumah nenekku… aku dan juga adikku…
Orang yang pergi karena kematian tidak dapat diharapkan akan kembali
Meskipun orang yang pergi melakukan perjalanan akan selalu kembali lagi
Ternyata ada seorang wanita di rumah ayahku…
“Ini adalah Asma. Berilah salam kepadanya…”
Ia bukan ibuku, tetapi ia adalah wanita yang paling baik bagi
ayahku.. Ia memperhatikan pendidikan kami dengan yang terbaik. Ia juga
bertekad agar aku menyelesaikan studiku.
Ia memulai dengan menganjurkan
diriku menghafal Al-Qur’an, memilihkan teman-teman yang shalihah untuk
diriku, menyiapkan segala yang aku inginkan dan yang adikku inginkan,
bahkan lebih daripada itu. Terkadang kami sering membuatnya marah.
Namun
meski demikian, ia adalah wanita yang penyabar, lagi cerdas. Ia tidak
menyia-nyiakan sedikitpun dari waktunya tanpa ada guna. Lisannya selalu
basah dengan dzikir kepada Allah.
Ia menggabungkan antara kedalaman
agama dan akhlak yang baik. Ia sungguh telah mengisi kekosongan hidup
kami yang amat besar.
Berikut ini penjelasan dia tentang pergaulan yang baik ketika pada suatu hari aku mengajukan pertanyaan kepadanya:
“Kenapa anda berbeda dengan ibu-ibu tiri yang lain? Di mana letak
kezaliman dan perlakuan buruk yang biara dilakukan para ibu tiri itu
dalam dirimu?”
Ia menjawab:”Aku takut kepada Allah dan selalu mengharapkan pahala
dari setiap perbuatanku. Kalian adalah amanah di sisiku. Jangan heran.
Sampai dengan merapikan rambut kalian pun aku mengharapkan pahala.
Kemudian wahai Arwa, berapa juz Al-Qur’an yang telah engkau hafal?
Bukankah aku juga mendapatkan pahala dengan hafalanmu itu, insya Allah?
Bukankah aku juga mendapatkan pahala dengan mendidikmu melalui
pendidikan yang baik?
Semua yang kulakukan adalah demi mendapatkan keridhaan Allah…” Ia
menambahkan: “Sebagaimana seseorang mencari pahala dengan ibadah seperti
puasa, shalat, ia juga mencari pahala dalam pergaulannya. Seorang
mukmin, selalu dituntut untuk bergaul dengan baik, wahai putriku..”
“Tetapi kami telah melelahkanmu, bahkan menyulitkan dirimu?” potongku.
“Wahai Arwa, setiap pekerjaan pasti membawa kelelahan dan kepayahan.
Surga itu mahal.
Bukankah engkau mengetahui, bahwa untuk shalat dan
melakukan haji seseorang juga harus merasa lelah? Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang beramal kebajikan sebesar biji dzarah pun, ia pasti
melihatnya. Dan barangsiapa yang beramal keburukan sebiji dzarrah pun,
ia pasti melihatnya.” (Al-Humazah: 7-8)
Adapun kezhaliman para ibu tiri yang engkau ketahui, wahai Arwa,
tidaklah berlalu tanpa perhitungan. Bahkan akan mendapatkan perhitungan
yang berat. Apa dosa anak yatim, sehingga ia dizhalimi? Atau apa dosa
anak kecil, sehingga ia diperas? Kezhaliman akan menjadi kegelapan di
hari Kiamat nanti..”
Aku berkata kepadanya sedangkan perasaan terharu mencekik leherku.
Inilah doa ibuku, yang kulihat tampak dalam perlakuanmu terhadap kami…
“Sungguh Allah tidak menyia-nyiakan titipan di sisi-Nya…”
Tiba-tiba, pintu rumah diketuk…
Ibu tiriku masuk dan memberi salam kepadaku serta mendoakan
keberkahan bagiku. Aku mencium kepalanya. Bagiku, ia lebih dari
segalanya..
Ia adalah profil bagi seorang wanita muslimah.
Ia berkata dengan air mata yang mengiringinya: “Jangan lupa untuk
mengharapkan pahala dari Allah dalam setiap pekerjaan yang engkau
lakukan.” Kemudian ia menambahkan dengan senyuman yang selalu
mengiringinya: “Sungguh aku hafal hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam:
“Bila seorang wanita menjalankan shalat lima waktu, melakukan puasa,
memelihara kemaluannya dan mentaati suaminya, akan dikatakan kepadanya:
“Masuklah engkau dari pintu Surga manapun yang engkau kehendaki.”
Sekarang, tibalah saat mempraktekannya. Aku berkata kepada diriku
sendiri: “Sungguh ayahku tidak keliru ketika ia menikahi seorang wanita
yang shalihah. Sungguh ayahku tidak keliru ketika ia menikahi wanita
yang takut kepada Allah…”
Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah karya Abdul Malik Al-Qasim
(penerjemah: Abu Umar Basyir), penerbit: Darul Haq, cet. 1, Ramadhan
1422 H / Desember 2001 M. Hal. 104-111.